Cerita Rakyat
Judul: “Legenda Timun Mas”
Dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri yang sudah lama mengidamkan seorang anak. Suatu hari, mereka mendapatkan sebongkah timun besar di kebun mereka. Ketika timun itu dibelah, keluar seorang bayi perempuan yang cantik, mereka menamainya Timun Mas.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Di dekat desa tersebut, hiduplah raksasa jahat yang bernama Buto Ijo. Raksasa itu sering mengganggu penduduk desa dan menakut-nakuti mereka.
Untuk melindungi Timun Mas, orang tua Timun Mas mengajarkan berbagai ilmu dan memberikan perlengkapan ajaib agar sang anak bisa melawan raksasa suatu saat nanti.
Ketika Buto Ijo datang untuk menangkap Timun Mas, gadis itu menggunakan keberanian dan perlengkapan ajaibnya. Ia melemparkan biji timun yang kemudian tumbuh menjadi ladang timun yang lebat, lalu melemparkan jarum yang berubah menjadi hutan lebat, dan melemparkan garam yang berubah menjadi lautan luas.
Buto Ijo yang lelah dan terperangkap akhirnya kalah dan pergi dari desa itu selamanya.
Sejak saat itu, Timun Mas hidup bahagia bersama orang tuanya dan menjadi simbol keberanian serta kecerdikan dalam menghadapi kesulitan.
Pantun
Pantun Pendidikan
Pagi hari membaca buku,
Sambil duduk di bawah jendela.
Ilmu itu pelita hidupku,
Penerang jalan ke masa depan mulia.
Burung kenari hinggap di dahan,
Berkicau riang setiap pagi.
Pendidikan adalah investasi masa depan,
Untuk pribadi yang cerdas dan mandiri.
Dongeng
Burung Pipit dan Akar Pohon
Cerpen
Sepasang Tangan untuk Asa
Pagi baru saja menyapa ketika Pak Harun mengayuh sepeda tuanya menuju pasar. Di atas boncengan belakang, tergantung dua keranjang berisi sayuran segar hasil panen dari kebun kecil miliknya. Usianya telah melewati lima puluh, namun semangatnyau seakan tak pernah lelah, seolah ada sesuatu yang terus menggerakkan langkahnya setiap hari.
Di rumah sederhana berdinding papan, Bu Rini sedang menyiapkan sarapan. Nasi hangat, telur dadar, dan sambal terasi—menu yang tak pernah mewah, namun selalu cukup untuk mengisi perut dan menghangatkan hati.
Di kamar sempit berukuran tiga kali empat meter, Raka sedang melipat buku-buku kuliahnya. Ia adalah anak semata wayang Pak Harun dan Bu Rini, kini sedang menempuh pendidikan di sebuah universitas negeri di kota. Setiap akhir pekan, ia pulang untuk membantu orang tuanya dan menghemat biaya makan.
“Rak, makan dulu. Biar kuat kuliahnya nanti,” seru Bu Rini lembut.
Raka keluar sambil tersenyum. “Iya, Bu. Terima kasih.”
Mereka makan dalam diam. Suara sendok dan piring menjadi musik pagi itu. Hati Raka sering kali diliputi rasa bersalah. Ia tahu, biaya kuliah yang tak sedikit membuat ayahnya harus menambah pekerjaan sebagai buruh tani setiap sore. Ibunya pun menerima pesanan kue dari tetangga, meski tangannya kini tak sekuat dulu.
“Ayahmu itu selalu bilang, ‘selama Raka belajar sungguh-sungguh, semua lelah ini tidak sia-sia,’” ucap ibunya suatu waktu.
Kata-kata itu menggema di benak Raka setiap kali ia merasa lelah dengan tugas-tugas kuliah. Ia tahu, ia bukan hanya memperjuangkan masa depannya sendiri, tapi juga impian ayah dan ibunya yang sederhana: melihat anak mereka berhasil, lebih baik dari mereka.
Empat tahun kemudian, di tengah auditorium yang penuh sorak bahagia, nama Raka dipanggil. Ia melangkah naik ke panggung, mengenakan toga dan membawa senyum penuh syukur. Di antara kerumunan, Pak Harun dan Bu Rini berdiri paling depan, menahan haru yang sulit dibendung.
Setelah upacara, Raka berlari memeluk mereka.
"Ini untuk Ayah dan Ibu. Gelar ini bukan hanya milikku. Ini milik kalian.”
Pak Harun menepuk punggung Raka pelan.
“Nak, engkau sudah menjadi bukti bahwa perjuangan kami tidak sia-sia.”
Mereka bertiga berdiri dalam pelukan yang erat. Tak ada kemewahan, tak ada selebrasi berlebihan, tapi di hari itu, mimpi yang tumbuh dari peluh dan doa telah menjadi nyata.
Puisi
Ayah, Lelaki Tanpa Kata
Di balik langkah yang senyap,
kau berjalan tanpa gembar-gembor,
menggenggam letih dalam diam,
menghadirkan hangat tanpa suara.
Tak banyak kata kau ucap,
tapi peluhmu berbicara,
tentang cinta yang kau simpan
di balik kerutan wajah dan mata lelah.
Ayah,
kau bukan sekadar pelindung,
kau adalah tembok yang tak roboh
meski badai bertubi datang menerjang.
Dalam diam kau mengajarkan,
tentang tanggung jawab dan pengorbanan,
tentang menjadi kuat saat rapuh,
tentang mencintai tanpa pamrih.
Kini aku tahu,
cinta tak selalu berbunga kata,
kadang ia berwujud langkah pagi
dan pulang malam yang penuh luka.
Ayah,
terima kasih untuk semua yang tak sempat kau katakan,
biar aku yang menyulamnya jadi doa
di setiap hela napas dan jejak langkahku.